P
|
UTUS ! Itulah kata yang diucapkan oleh kekasih Dimas yang membuatnya
shock
“Arrgggghhhh, kenapa Marsha mutusin gue ? Apa salah gue ?” Dimas bertanya-tanya
sambil menghantamkan tangannya ke tembok hingga terluka.
Dimas menelefon Marsha untuk meminta penjelasan.
“Hallo, Sha ?”
“Iya,” jawab
Marsha dengan suara parau seperti sedang bangun tidur.
“Kenapa
lo mutusin gue ? Apa gue punya salah ke elo ?” Tanya Dimas
“Gue mau nikah
sama cowok yang masa depannya lebih jelas daripada lo” jawab Marsha
“Oh, gue nggak
nyangka kalo lo tuh cewek matre, gue kira lo cewek paling baik”
“Dan perlu lo
tau, gue nggak pernah ada rasa cinta atau sayang sedikitpun sama lo. Gue cuma
mau morotin lo, tapi setelah tau kalo usaha bokap lo bangkrut mending gue cari
cowok lain”
“Gue tulus cinta
sama lo, tapi lo rusak dengan sifat lo yang ternyata gak jauh beda sama
mantan-mantan gue yang brengsek dan gue nggak akan pernah nganggep lo sebagai
cewek yang pernah gue sayangi !!”
“Itu urusan lo
!!”
Dimas langsung mereject telefonnya karena perkataan terakhir dari
Marsha. Perasaan sedih, kecewa, marah bercampur menjadi satu dalam pikiran dan
hati Dimas. Dalam hati kecilnya, dia masih tidak mempercayai semua yang terjadi
padanya. Ia terus berharap yang terjadi hanyalah mimpi, tapi harapan itu segera
ia tepis karena memang itu benar-benar terjadi padanya.
***
1 hari, 2 hari, 3 hari sampai
satu minggu Dimas tak berinteraksi dengan dunia luar, waktu satu minggu ia
habiskan di dalam kamarnya. Hidupnya benar-benar kacau setelah berakhir
hubungannya dengan Marsha dan mengingat bahwa dia berniat akan melamar Marsha,
tapi semua itu tinggal harapan dan mungkin tak mungkin terwujud.
“Dimaaaaassssss,
keluar nggak lo !” suara teriakan Sheila dari luar kamar Dimas membangunkan Dimas
yang sedang terlelap. Masih setengah terbangun, Dimas membuka pintu kamarnya.
“Apaan sih ?
punya jam nggak sih lo ? masih pagi banget ini !”
“Sekarang jam
setengah enam pagi. Udah nggak ada lagi tidur jam segini. Cepet cuci muka trus
kita lari pagi !” perintah Sheila.
Dengan sangat malas Dimas terpaksa mengikuti perintah Sheila. Ia pergi
ke wastafel di kamar mandinya untuk mencuci mukanya, kemudian setelah
membersihkan mukanya dari facial foam ia melihat pantulan wajahnya di cermin
wastafel. Ia melihat wajahnya tak seceria ketika masih menjadi kekasih Marsha,
ia masih tak percaya dengan apa yang dilakukan Marsha kepadanya.
“Hei, ngapain aja
sih lo di dalem ?” bentak Sheila sambil mengetuk pintu kamar mandi yang
seketika membuyarkan lamunan Dimas.
***
“Masih mikirin Marsha ya ?”
tanya Sheila sambil terengah-engah karena lelah berlari. Dimas terus berlari
tanpa menghiraukan pertanyaan Sheila “Hei ! buat apa sih lo mikirin dia terus ?
emang dia mikirin lo ?” tanya Sheila lagi semakin terengah karena mencoba
mengejar Dimas yang semakin cepat berlari “Lo dengerin gue nggak sih ?!” Sheila
menyerah. Dia berhenti berlari dan mendudukkan dirinya di tengah jalan karena
kelelahan. Dimas yang sudah jauh pun kembali untuk menghampiri Sheila.
“Shei, tolong jangan bahas dia
lagi. Gue harap lo ngerti ya ?” Akhirnya Dimas menjawab dengan nada yang tidak
biasa. Sheila baru pertama kali melihat Dimas sehalus ini, tatapan matanya
memperlihatkan-betapa sedihnya dia kehilangan perempuan yang sangat dia cintai-
setelah selama 2 tahun menjadi sahabatnya. Ia merasa begitu kasihan kepada
sahabatnya ini. Sheila mengangguk dan dibalas senyuman Dimas.
***
Sheila
melamun sendiri di sebuah coffee shop. Dia terus memikirkan tingkah laku Dimas
tadi pagi, tak pernah dia melihat sahabatnya serapuh itu. Tiba-tiba dia ingat
lapangan basket kampus tempat biasa Dimas melampiaskan segala kekesalannya.
Sheila membayar bill langsung pergi menuju lapangan basket itu.
Sesampainya di lapangan basket…
Ternyata
benar, ada Dimas disana sedang bermain basket dengan penuh emosi. Melihat
Sheila dipinggir lapangan, Dimas langsung menghampiri Sheila.
“Hei, ngapain lo kesini ?” tanya
Dimas
“Gue pengen main basket sama lo”
“Hahahahaha kayak bisa aja lo”
cibir Dimas sambil mengacak-acak rambut Sheila.
“Jangan remehin gue lo ! FIGHT
!” Sheila melepas cardigannya dan langsung menuju lapangan basket. Dimas
menyusul Sheila yang sudah lebih dulu ke tengah lapangan. Mereka bertanding
sambil sesekali Dimas mengalah supaya Sheila memasukkan bola ke dalam ring lalu
ia merebut bola dan mendrible bolanya sampai ke ring. Sementara itu, seorang
perempuan melihat Dimas dan Sheila dengan mata berkaca-kaca.
***
Sheila
menghempaskan tubuhnya ke ranjang yang sangat nyaman menurutnya setelah mandi
dan kelelahan karena berjam-jam bermain basket dengan Dimas. Ditatapnya
langit-langit, tergambar samar raut wajah bahagia milik Dimas. Sheila merasa
sangat senang bisa membuat sahabatnya itu tersenyum ketika bersamanya. Ia
mencoba memutar memori ketika pertama kali mengenal Dimas.
Seorang anak perempuan manis dengan pakaian
sangat rapi, rok biru gelap di bawah lutut dan rambut yang dikuncir dua karena
tuntutan MOS dari kakak kelasnya sedang berdiri dengan raut muka bingung tetapi
tetap memperlihatkan wajah manisnya. Ia
ingin berkenalan dengan seseorang namun sifat malunya tak dapat
ditutupi, sampai seorang laki-laki menghampirinya.
“Hei,
ngapain berdiri di sini ? gabung sama temen-temen gue yuk” tegur laki-laki
ramah tapi cuek itu (?)
“Hm
? ngg, mau masuk tapi malu hehe” timpal perempuan itu dengan raut muka yang
semakin kebingungan dengan kehadiran laki-laki yang tiba-tiba menghampirinya
dan sok akrab kepadanya.
“Ngapain
malu ? santai aja lagi, anggep aja ini sekolah lo dulu dan orang-orang di sini
temen-temen yang sama juga. Oiya, nama gue Dimas Ananditya Wiratama panggil gue
Dimas. Lo ?”
“Gue
Hilda Arsheila Nitinegoro panggil aja Sheila”
Di saat itulah pertama kali Sheila
mendapatkan teman yang akhirnya menjadi sahabatnya. Dimas sering bercerita
tentang kakak kelas anggota OSIS yang pernah membimbing mereka ketika kegiatan
MOS , namanya Marsha. Menurut Dimas, Marsha adalah perempuan cantik, baik, dan
pintar hingga suatu saat Dimas memberanikan diri untuk mengungkapkan
perasaannya.
“Cewek bertopeng , jahaaaat !!
berani-beraninya lo nyakitin sahabat gue !!!” Sheila berteriak ketika ia
mengingat saat Dimas dan Marsha pertama menjadi sepasang kekasih. Ia merasa
tidak terima dengan apa yang dilakukan Marsha kepada sahabatnya yang sangat
mencintai Marsha.
Drrt…drrrt..drrrt
Getaran
ponselnya membuat emosinya sedikit mereda, dan benar-benar reda ketika ia
membaca nama Dimas menelefonnya. Segera ia angkat telefonnya.
“Halo, ada apa, Dim ? Hah ?
Dasar lo ! Iya iyaa, gue ganti baju dulu, bye” sambil menutup pembicaraan,
Sheila tersenyum geli karena tingkah laku Dimas yang konyol. Tanpa berpikir
panjang lagi Sheila ganti baju dan cepat-cepat menuju halaman rumahnya.
Didapatinya Dimas sedang berdiri menunggunya.
“Orang gila ! ketuk pintu atau
pencet bel aja bisa, pake acara nelfon segala” kata Sheila sambil menggetok
kepala Dimas.
“Kalo lo udah tidur gimana ?
nggak kedengeran kan ? dasar bodoh !” cibir Dimas sambil mngacak-acak rambut
Sheila, sementara Sheila hanya menggembungkan pipi chubby nya.
“Kita mau kemana sih, Dim ?”
“Ke suatu tempat yang paling gue suka”
Sesampainya
di tempat tujuan Dimas…
Sheila
tertegun melihat pemandangan di hadapannya. Sebuah bukit kecil berwarna hijau
muda tetapi tersamarkan gelapnya malam dan berdiri satu pohon yang sangat
rindang di salah satu sudut bukit itu, dia dapat melihat dengan jelas milyaran
bintang yang terhampar di langit luas.
Pintar sekali Dimas memilih tempat ini sebagai tempat favoritnya, pikirnya.
Namun ada satu hal yang membuat Sheila tekejut, begitu juga Dimas. Seorang
perempuan dengan rambut panjang duduk di bawah pohon sedang memandangi bintang,
mereka berdua merasa tak asing dengan perempuan itu, mungkin pikiran mereka
sama. Belum sempat mereka mencoba menghampiri, perempuan itu menoleh ke arah
mereka. Pikiran mereka ternyata benar.
“Marsha ?” panggil Dimas
setengah berteriak lalu menghampiri mantan kekasihnya. Dia ingin sekali
memeluknya namun segera ia urungkan niatnya. “Kamu masih inget tempat ini ya ?
Syukurlah hehe”
“Hah ? gue cuma mampir bentar
kali ! nggak usah kepedean deh !” timpalnya dengan nada ketus untuk menutupi
kegugupannya.
“Galak amat sih sekarang ? oiya
kenapa mata kamu sembap ? ”
“Ngapain sih nanya-nanya ? udah
gue mau pergi !” bentak Marsha sambil berjalan pergi meninggalkan Dimas dan
Sheila sambil menatap Sheila dengan sinis.
Dimas
berusaha mengejarnya namun dicegah oleh Sheila “Udahlah ! ngapain sih lo masih
peduli sama dia ?” bentak Sheila, masih memegang pergelangan tangan Dimas
dengan sangat erat.
“Yee siapa juga yang mau ngejar
dia ? gue mau ngambil bunga itu tuh” kata Dimas sambil menunjuk ke arah tanaman
bunga di bawah sinar lampu yang tidak terlalu terang. Mawar putih. Bunga
kesukaan Sheila.
“Garing amat sih lo !” timpal Sheila sambil menjitak pelan kepala Dimas
lalu melepaskan genggaman tangannya. Pipinya memerah. Ia tak tahu mengapa
sangat bahagia ketika Dimas sedang berjalan menuju tanaman-tanaman mawar putih
itu dan memetiknya beberapa. Ia merasa bahwa mawar itu untuknya dan Dimas adalah
pangeran berkuda putih yang selalu ada di mimpinya. Jika ia punya sayap,
mungkin sudah terbang.
“Shei, lo suka mawar putih kan ?” tanya Dimas sambil berjalan ke arah
Sheila dan membawa dua tangkai mawar putih. Sheila mengangguk. “Nih buat lo”
Dimas memberikan setangkai mawar putih.
“Makasih ya, Dim” kata Sheila, kemudian memeluk Dimas dengan reflek.
Dimas pun membalas pelukannya. Jantung Sheila berdegup dengan ritme cepat
tetapi ia merasa sangat nyaman berada di pelukan sahabanya ini hingga tak sadar
dia meneteskan air mata.
Dimas yang
merasa bahwa pundaknya basah langsung melepas pelukannya “Lo nangis, Shei ?” kata Dimas dengan nada
halus sambil memegangi pundak Sheila.
“Ah, enggak kok..Cuma….. ini
tadi kelilipan hehe” jawab Sheila gugup.
“Ngaku aja deh..lo kenapa ?”
“Iya gue nangis. Gue terharu
karena gue inget abang gue. Pelukan lo sama nyamannya waktu gue meluk abang gue”
“Yaudah, nggak usah nangis lagi”
kata Dimas sambil memeluk tubuh Sheila sebentar lalu mencium kening Sheila. Ia merasa kasihan dengan
sahabatnya itu karena Sheila hanya tinggal bersama ibunya, sedangkan ayah dan
kakaknya sudah pergi meninggalkan mereka karena kecelakaan pesawat dalam
perjalanan Australia-Indonesia untuk menghadiri ulang tahun ke tujuh belas
Sheila. Dan Sheila merasa kematian kedua orang yang sangat disayanginya itu
karena kesalahannya.
Sedangkan di
sela-sela dua pohon di belakang Sheila dan Dimas ada seorang perempuan berambut
panjang kembali melihat Sheila dan Dimas. Kali ini tidak hanya berkaca-kaca
tetapi benar-benar sudah menangis. Ia memegangi dadanya sambil meringis
kesakitan. Hingga tak bisa lagi melihat Sheila dan Dimas. Ia jatuh pingsan yang
kemudia membuat Sheila dan Dimas sadar bahwa ada orang di sana. Mereka pun
menghampiri asal suara tersebut. Dimas terkejut ketika mendapati seorang
perempuan yang tak tersadarkan diri tergeletak lemas. Sheila lebih terkejut
ketika dia menyadari bahwa perempuan itu adalah Marsha. Tanpa berpikir panjang
lagi mereka segera mengangkat Marsha ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.
***
Setibanya di
rumah sakit, Dimas menanyai orang tua Marsha yang baru datang karena
dihubunginya tadi sambil menunggu dokter yang sedang memeriksa Marsha di ruang
ICU, dengan penuh perasaan khawatir. Sedangkan Sheila hanya mendengarkan tanpa
berani angkat bicara karena dia pun sama seperti Dimas dan orang tua Marsha.
“Apakah Marsha sedang sakit,
Tante ?” tanya Dimas kepada ibu Marsha dengan muka penuh selidik.
“Iya, nak Dimas. Dia menderita
lemah jantung.” Jawab ibu Marsha sambil sedikit terisak.
“Kenapa dia nggak bilang ke aku
tentang penyakitnya itu, Tante ?”
“Maaf, nak. Bukannya dia nggak
cerita sama nak Dimas. Dia hanya takut nak Dimas sedih karena Marsha sangat
mencintai nak Dimas”
“Mencintai aku, Tante ? lalu,
kenapa…..”
“Iya, nak. Dia sengaja
memutuskan nak Dimas dan berpura-pura menjadi perempuan yang tidak baik di
depan nak Dimas. Dia ingin nak Dimas membencinya karena jika nak Dimas terlalu
menyayanginya dan nak Dimas tau tentang penyakitnya, dia takut nak Dimas sedih
dan tidak bisa menerima dia lagi”
Setelah
mendengar cerita dari ibu Marsha, Dimas menundukkan kepalanya sambil
memeganginya, dia sangat terpukul.
Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruang ICU
“Keluarga Saudari Marsha ?”
“Kami, dok” jawab Dimas sambil
berharap Marsha baik-baik saja.
“Saat ini, Saudari Marsha sudah
melewati masa kritisnya namun masih lemah. Buat dia senang, karena itu yang
bisa membuat Saudari Marsha dapat berjuang hidup. Permisi” kata dokter itu sambil
berlalu dan membuat semua orang yang menyayangi Marsha tersenyum lega. Mereka
pun memasuki ruang ICU tersebut.
“Hei, bawel ! nakal banget sih
kamu bohongin aku ?” sapa Dimas kepada Marsha sambil mencoba menutupi
kesedihannya agar tidak diketahui oleh Marsha. Ia kasihan melihat kondisi
Marsha yang sedang terbaring dengan muka pucat namun masih menunjukkan
kecantikan yang membuat Dimas menyukainya.
“Kamu udah tau semuanya, Dim ?
pasti ibu deh” jawab Marsha sambil melirik ke arah ibunya dengan muka kesal
yang dibuat-buat, ibunya hanya tersenyum.
“Aku kangen kamu bawel. Aku
percaya sama sandiwara jelekmu itu tau, aku sedih kamu kayak gitu. Ternyata aku
tertipu” kata Dimas sambil mencubit pipi Marsha gemas.
“Sakit !” kata Marsha sambil
mengelus-elus pipinya dan lagi-lagi memasang muka kesal yang dibuat-buat
“Hahaha dasar bodoh kamu ! Dimas, aku boleh minta sesuatu nggak ?”
“Tentu boleh dong, nona bawel.
Kamu mau minta apa ? hm ?”
“Aku mau kamu mengambil sesuatu
yang aku kubur di bawah pohon dekat bukit indah itu. Itu untukmu dan untuk
Sheila” kata Marsha yang sedang mencoba tidak menunjukkan rasa sakit di
dadanya. Dia masih bisa tersenyum manis saat raganya sudah tak kuat lagi. Ia
hanya ingin menunjukkan bahwa ia tak selemah yang orang-orang tercintanya kira.
Ia hanya tak ingin membuat mereka meneteskan air mata sedih untuknya.
“Baiklah, nona. Kita akan gali
bersama besok. Kamu harus sembuh malam ini juga”
“Hahaha tidak bisa, bodoh. Aku
ingin istirahat, aku sudah sangat lelah. Dan kamu juga harus berjanji padaku”
“Malam ini kau istirahat dan
besok kita ke bukit itu bersama-sama ya ? Janji apa, nona bawel ?” Dimas masih
mencoba memasang muka ceria walaupun air matanya sudah sampai di sudut matanya,
ia cepat-cepat menghapusnya sebelum Marsha tahu.
“Aku ingin istirahat terus,
bodoh. Maafkan aku” kata Marsha yang masih menahan sakit di dadanya yang
semakin bertambah itu “Aku rasa Sheila akan menjadi perempuan yang baik untuk
masa depanmu. Aku ingin kau berjanji, jika aku sedang beristirahat lama nanti,
kau menjalin hubungan dengan Sheila dan menikah” Akhirnya Marsha meneteskan air
mata pertamanya sejak pertemuannya dengan Dimas malam ini. Ia hanya ingin Dimas
bahagia ketika dia sudah tak dapat lagi berada di sampingnya.
“Kenapa kau berkata seperti itu,
bawel ? Bercandamu berlebihan sekali. Aku akan menikah denganmu kelak, kau
pasti sembuh !” Dimas pun meneteskan air matanya diikuti Sheila dan keluarga
Marsha.
“Aku sungguh-sungguh, bodoh. Aku
cinta kamu, bodoh. Sheila, tolong jaga si bodoh ini ya ? Kalau dia nakal cubit
aja nggak papa kok” Kalimat itu membuat dada Marsha bertambah sakit hingga dia
tidak tahan lagi dan terpaksa memeganginya sambil meringis kesakitan dan
menghembuskan nafas terakhirnya. Hal itu membuat seluruh orang yang mencintai
Marsha terutama Dimas menangis kehilangan.
Tak lama,
dokter dan beberapa suster memasuki ruang ICU itu untuk memastikan keadaan
Marsha. Namun, tak ada lagi yang harus diperbuat. Alat pemacu jantung pun sudah
tidak berguna lagi. Salah satu suster menutup seluruh badan Marsha dengan kain
putih dan membuat tangis Dimas semakin menjadi.
***
Setelah
prosesi pemakaman, Dimas dan Sheila menuju ke bukit. Dia ingin menuruti perintah
Marsha untuk mengambil sesuatu yang Marsha kubur di bawah pohon itu.
Sesampainya di sana, Dimas merasa sesuatu sedang menghujam hatinya. Beberapa
kenangan indah tersimpan di bukit tersebut, bahkan hari terakhir dengan Marsha
pun terjadi di bukit itu. Sesekali ia
menghapus air matanya. Sangat perih kehilangan perempuan yang paling dia
cintai.
Sheila yang menyadari bahwa Dimas sedang menangis
langsung mencoba menenangkannya “Udah ya, Dim. Gue tau lo pasti sakit banget
kehilangan Marsha, tapi Marsha udah tenang di surga dan pasti dia nggak suka
liat lo sedih. Lo kan janji mau bahagiain dia sampai kapan pun” kata Sheila
sambil menepuk-nepuk pundak Dimas supaya dia tenang, Sheila pun meneteskan air
mata karena tak tega melihat sahabatnya sesedih ini.
“Iya, Shei. Gue payah hahaha”
Dimas tertawa dalam tangisnya, mencoba melegakan hati Sheila yang daritadi
terus berusaha menenangkannya “Yaudah, kita gali yuk” ajak Dimas sambil
berjalan menuju pohon yang dimaksud Marsha. Ia membawa sekop untuk
memudahkannya menggali tanah untuk mengambil barang yang dikubur Marsha.
Beberapa
menit kemudian, Dimas mulai menemukan barang itu, sebuah kotak yang cukup
besar. Setelah di buka, ternyata kotak itu berisi selembar kertas, beberapa
barang Marsha pemberian Dimas, dan foto-foto Marsha bersama Dimas, ada foto
Sheila juga di situ.
Dimas merasa
hatinya semakin perih, namun sudah tidak bisa menangis lagi. Segera dibacanya
kertas dalam kotak itu.
*Bersamamu,
aku adalah berlian
Yang
indah nan berkilau
Yang
kan selalu kau jaga dan tak akan kau biarkan ku terhempas
Aku yakin
Bersamamu,
aku adalah peri kecil
Makhluk
tak sempurna
Yang
kau jadikan hampir sempurna dan indah dimatamu
Aku
yakin
Karena bersamamu
Aku
merasa berharga
Aku
merasa sempurna
Aku
merasa berguna
Dan
dicintai
Aku
yakin, sangat yakin
*Tapi
Tuhan..
Mengapa
kau tak ijinkan aku lebih lama bersamanya ?
Aku
ingin hidup lebih lama bersamanya Tuhan
Tapi
aku hanya makhluk lemah yang tak bisa hidup lebih lama lagi
Tuhan,
Aku
mohon jaga dia ketika aku tak mampu lagi menjaganya
Tuhan,
Maafkan
aku telah berpura-pura dengannya
NB:
Dimaaaass, maafin aku ya nggak bisa nemenin kamu di
pelaminan kelak. Aku udah capek banget pengen istirahat hehehe Maaf udah
bohongin kamu, sebenernya aku juga nggak mau kayak gitu. Aku cuma nggak mau
kamu sedih. Oiya, itu barang-barang dari kamu, maaf ya aku kembaliin hehehe
takut nggak ada yang ngerawat. Semangat ya, bodoh.
Buat
Sheila, aku titip bodohku yaa. Tolong gantiin aku di pelaminannya. Kalian cocok
kok.
Sampai
ketemu di surga. Aku sayang kalian.
Hey
bodoh, bacanya biasa aja ! nggak usah pake nangis. Malu tuh sama Sheila.
Bye..
Tanpa sadar, Dimas meneteskan air
matanya karena membaca surat itu. Dia sudah tak peduli akan harga dirinya
sebagai lelaki, karena lelaki manapun pasti akan melakukan hal yang sama ketika
orang yang mereka cintai pergi.
“Woy,
cengeng amat sih lo, Dim ?” Sheila mencoba menghibur Dimas sambil menjitak
kepalanya.
“Hahaha
kayak lo nggak cengeng aja, Shei !” timpal Dimas yang sedikit terhibur “Lihat
tuh hidungmu udah kayak tomat”
Sheila hanya menggembungkan pipinya
pertanda kesal sambil mengusap air matanya dan tersenyum kepada Dimas.
“Pulang
yuk, Shei” ajak Dimas sambil mengacak-acak rambut Sheila dan merangkulnya.
Mereka pulang dan membawa kotak itu.
***
5 tahun kemudian…
Dimas melihat pemandangan di bukit
indah itu sambil sesekali menghirup udara segar yang bercampur aroma mawar
putih yang sedang bermekaran. Masih teringat dengan sangat jelas semua
kenangannya bersama Marsha. Ia masih belum bisa melupakannya, bahkan mungkin
tidak akan pernah bisa.
“Haloo
papaaa” panggil seorang perempuan manis dan anggun kepada Dimas sambil
melambaikan tangan seorang bayi yang di gendongnya.
“Hey,
Acha keciil anak papaa yang cantik” jawab Dimas lalu berganti menggendong seorang
bayi tadi yang ternyata bernama Acha, bayi dari Dimas dan Sheila. Mereka
menepati janji Marsha, mereka menikah tanpa paksaan karena akhirnya mereka
memang saling mencintai dan mereka sepakat memberi nama bayinya, Marsha Dila Wiratama. Marsha= untuk
mengenang almarhumah yang telah menyatukan mereka, Dila= gabungan dari Dimas
dan Sheila, dan Wiratama= nama belakang Dimas yang juga nama ayahnya atau kakek
Acha. Mereka bersyukur mempunyai buah hati yang sangat lucu dan cantik, dan
mereka sangat bersyukur karena Marsha lah yang membuat keluarga yang sangat
indah itu.
-TAMAT-