Rabu, 26 Oktober 2016

Siapa?

Ini rumahku berpenghuni
Ia sedang bersiap pergi
Kamu datang lagi
Sudah lama aku dan kamu berbincang di luar
Sementara Ia sedang berkemas di dalam

Ia pergi
Ku persilakan kamu masuk, akhirnya
Kamu berkata ingin menginap
Ku izinkan dengan senang hati
Ya...hitung-hitung menemani karena Ia sudah pergi

Kamu kerasan juga
Tapi sebentar
Aku lihat ada yang janggal
Makin lama kamu tiap malam,
tertidur semakin dekat dengan pintu keluar
Hampir selama 720 malam
Ku tarik kakimu agar tak sampai melebihi pintu itu
Tetap saja keesokannya kamu sudah tidak ada di rumah

Aku temui dia berbincang di teras
Pintu setengah terbuka
Aku temui seseorang berbincang di teras
Pintu hampir terbuka seluruh
Kamu meninggalkan barangmu di dekat pintu
Pantas saja pintu tak bisa terbuka seluruh
Berat juga bawaanmu....baju kotor ternyata

Senin, 08 Agustus 2016

Anna Karenina

Finally, after a long sleep, it has been two years since the last I post my poem (wait....poem?or I told my own story a.k.a curhat?) Well, now I'm blogging again yaaay.
Have you heard about Anna Karenina? Yash, it is a novel by Leo Tolstoy and then it is filmed, directed by Joe Wright. It is about romance and I fell in love at the first I watched the movie. Okay, I wrote the poem version of Anna Karenina story.
Here is the story............

Anna Karenina



A brown curly hair woman
A wife with a pious image
A million enchanment she spreads
Anna Karenina

A blond guy
Walking here and there 
Hands some women and dance
A million enchanment he spreads
Count Vronsky

Dance party
Two pairs of eyes found each other
Ashamed, happy, prestige, attracted
A beginning of a destruction

Two sinners made a sin
A woman broke an image
A husband knew
A wife was guilty

Kill her fear
Kill her shame
Kill her self
Poor Anna died with her sins

Selasa, 25 Maret 2014

Pada Akhirnya...


Aku pernah menopang hatiku sendiri. Lalu mencari sandaran yang ternyata hanya kayu reot, rapuh. Aku jatuh.
Berkali-kali aku tertipu bahwa yang reot itu kokoh.
Aku sempat merasakan sakit dan lelah yang amat sangat.
Hingga diujung keputusasaanku berjalan dalam pencarian yang kupikir hanya akan sia-sia, aku menemukan tempat itu. "Ah mungkin itu sama saja" pikirku.
Karena lelah yang tak bisa ku tahan, dengan terpaksa aku mencoba bersandar dengan sangat hati-hati.
Ya Tuhan, aku masih belum roboh disini. Air mataku mengalir bersamaan dengan senyumku yang mengembang, aku masih terpaku dengan ketidakpercayaanku.
Aku menemukan tempat sandaran ternyaman kali ini. Aku ingin selamanya berada disini.
Terima kasih, Tuhan. :')

Minggu, 11 Agustus 2013

Cinta pada Hakikatnya

Dua anak manusia
Bertukar rasa
Menguasai kebahagiaan
Mengabaikan kesedihan

Ada kalanya mereka lara
Ketika ditinggalkan
Ketika diacuhkan
Perih...
Amat perih

Hakikatnya...
Cinta adalah sebuah formula
Tak terdefinisikan
Tak terjabarkan
Berupa misteri

Berbahagialah...
Tertawalah...
Ketika cinta yang indah menghampirimu
Jangan cela ketika cinta membuatmu lara
Karena cinta itu dibutuhkan
Bukan teringinkan

Selasa, 28 Mei 2013

Siklus


Selamat pagi..
Penyulut kobaran semangat
Pelukis senyum yang menawan
Ya, kamu yang tak usainya dikata asmara

Selamat siang..
Hari-hari yang indah
Pasangan yang terus menebar senyumnya
Ya, mereka dua insan yang tengah di mabukkan asmara

Selamat sore..
Sinar yang mulai meredup
Senyum yang mulai layu
Ya, dua asmara dalam ujian

Selamat malam..
Hari-hari yang gelap
Senyum yang sudah pupus
Ya, aku yang telah kehilangan asmaraku

Biarkan bulan terus bermain-main dalam gelap
Biarkan bintang mempertahankan sinarnya sendiri
Biarkan malam dingin tetap menanti kehangatan fajar
Hingga…
Hey, lihatlah cahaya dari ufuk timur itu ! J

Kamis, 31 Mei 2012

Hanya Ingin Kau Bahagia


P
UTUS ! Itulah kata yang diucapkan oleh kekasih Dimas yang membuatnya shock
“Arrgggghhhh, kenapa Marsha mutusin gue ? Apa salah gue ?” Dimas bertanya-tanya sambil menghantamkan tangannya ke tembok hingga terluka.
Dimas menelefon Marsha untuk meminta penjelasan.
                “Hallo, Sha ?”
                “Iya,” jawab Marsha dengan suara parau seperti sedang bangun tidur.
                “Kenapa lo mutusin gue ? Apa gue punya salah ke elo ?” Tanya Dimas
                “Gue mau nikah sama cowok yang masa depannya lebih jelas daripada lo” jawab Marsha
 “Oh, gue nggak nyangka kalo lo tuh cewek matre, gue kira lo cewek paling baik”
                “Dan perlu lo tau, gue nggak pernah ada rasa cinta atau sayang sedikitpun sama lo. Gue cuma mau morotin lo, tapi setelah tau kalo usaha bokap lo bangkrut mending gue cari cowok lain”
                “Gue tulus cinta sama lo, tapi lo rusak dengan sifat lo yang ternyata gak jauh beda sama mantan-mantan gue yang brengsek dan gue nggak akan pernah nganggep lo sebagai cewek yang pernah gue sayangi !!”
                “Itu urusan lo !!”
Dimas langsung mereject telefonnya karena perkataan terakhir dari Marsha. Perasaan sedih, kecewa, marah bercampur menjadi satu dalam pikiran dan hati Dimas. Dalam hati kecilnya, dia masih tidak mempercayai semua yang terjadi padanya. Ia terus berharap yang terjadi hanyalah mimpi, tapi harapan itu segera ia tepis karena memang itu benar-benar terjadi padanya.
***
1 hari,  2 hari, 3 hari sampai satu minggu Dimas tak berinteraksi dengan dunia luar, waktu satu minggu ia habiskan di dalam kamarnya. Hidupnya benar-benar kacau setelah berakhir hubungannya dengan Marsha dan mengingat bahwa dia berniat akan melamar Marsha, tapi semua itu tinggal harapan dan mungkin tak mungkin terwujud.
                “Dimaaaaassssss, keluar nggak lo !” suara teriakan Sheila dari luar kamar Dimas membangunkan Dimas yang sedang terlelap. Masih setengah terbangun, Dimas membuka pintu kamarnya.
                “Apaan sih ? punya jam nggak sih lo ? masih pagi banget ini !”
                “Sekarang jam setengah enam pagi. Udah nggak ada lagi tidur jam segini. Cepet cuci muka trus kita lari pagi !” perintah Sheila.
Dengan sangat malas Dimas terpaksa mengikuti perintah Sheila. Ia pergi ke wastafel di kamar mandinya untuk mencuci mukanya, kemudian setelah membersihkan mukanya dari facial foam ia melihat pantulan wajahnya di cermin wastafel. Ia melihat wajahnya tak seceria ketika masih menjadi kekasih Marsha, ia masih tak percaya dengan apa yang dilakukan Marsha kepadanya.
                “Hei, ngapain aja sih lo di dalem ?” bentak Sheila sambil mengetuk pintu kamar mandi yang seketika membuyarkan lamunan Dimas.
***
                “Masih mikirin Marsha ya ?” tanya Sheila sambil terengah-engah karena lelah berlari. Dimas terus berlari tanpa menghiraukan pertanyaan Sheila “Hei ! buat apa sih lo mikirin dia terus ? emang dia mikirin lo ?” tanya Sheila lagi semakin terengah karena mencoba mengejar Dimas yang semakin cepat berlari “Lo dengerin gue nggak sih ?!” Sheila menyerah. Dia berhenti berlari dan mendudukkan dirinya di tengah jalan karena kelelahan. Dimas yang sudah jauh pun kembali untuk menghampiri Sheila.
                “Shei, tolong jangan bahas dia lagi. Gue harap lo ngerti ya ?” Akhirnya Dimas menjawab dengan nada yang tidak biasa. Sheila baru pertama kali melihat Dimas sehalus ini, tatapan matanya memperlihatkan-betapa sedihnya dia kehilangan perempuan yang sangat dia cintai- setelah selama 2 tahun menjadi sahabatnya. Ia merasa begitu kasihan kepada sahabatnya ini. Sheila mengangguk dan dibalas senyuman Dimas.
***
Sheila melamun sendiri di sebuah coffee shop. Dia terus memikirkan tingkah laku Dimas tadi pagi, tak pernah dia melihat sahabatnya serapuh itu. Tiba-tiba dia ingat lapangan basket kampus tempat biasa Dimas melampiaskan segala kekesalannya. Sheila membayar bill langsung pergi menuju lapangan basket itu.

Sesampainya di lapangan basket…
Ternyata benar, ada Dimas disana sedang bermain basket dengan penuh emosi. Melihat Sheila dipinggir lapangan, Dimas langsung menghampiri Sheila.
                “Hei, ngapain lo kesini ?” tanya Dimas
                “Gue pengen main basket sama lo”
                “Hahahahaha kayak bisa aja lo” cibir Dimas sambil mengacak-acak rambut Sheila.
                “Jangan remehin gue lo ! FIGHT !” Sheila melepas cardigannya dan langsung menuju lapangan basket. Dimas menyusul Sheila yang sudah lebih dulu ke tengah lapangan. Mereka bertanding sambil sesekali Dimas mengalah supaya Sheila memasukkan bola ke dalam ring lalu ia merebut bola dan mendrible bolanya sampai ke ring. Sementara itu, seorang perempuan melihat Dimas dan Sheila dengan mata berkaca-kaca.
***
Sheila menghempaskan tubuhnya ke ranjang yang sangat nyaman menurutnya setelah mandi dan kelelahan karena berjam-jam bermain basket dengan Dimas. Ditatapnya langit-langit, tergambar samar raut wajah bahagia milik Dimas. Sheila merasa sangat senang bisa membuat sahabatnya itu tersenyum ketika bersamanya. Ia mencoba memutar memori ketika pertama kali mengenal Dimas.

Seorang anak perempuan manis dengan pakaian sangat rapi, rok biru gelap di bawah lutut dan rambut yang dikuncir dua karena tuntutan MOS dari kakak kelasnya sedang berdiri dengan raut muka bingung tetapi tetap memperlihatkan wajah manisnya. Ia  ingin berkenalan dengan seseorang namun sifat malunya tak dapat ditutupi, sampai seorang laki-laki menghampirinya.
                “Hei, ngapain berdiri di sini ? gabung sama temen-temen gue yuk” tegur laki-laki ramah tapi cuek itu (?)
                “Hm ? ngg, mau masuk tapi malu hehe” timpal perempuan itu dengan raut muka yang semakin kebingungan dengan kehadiran laki-laki yang tiba-tiba menghampirinya dan sok akrab kepadanya.
                “Ngapain malu ? santai aja lagi, anggep aja ini sekolah lo dulu dan orang-orang di sini temen-temen yang sama juga. Oiya, nama gue Dimas Ananditya Wiratama panggil gue Dimas. Lo ?”
                “Gue Hilda Arsheila Nitinegoro panggil aja Sheila”
Di saat itulah pertama kali Sheila mendapatkan teman yang akhirnya menjadi sahabatnya. Dimas sering bercerita tentang kakak kelas anggota OSIS yang pernah membimbing mereka ketika kegiatan MOS , namanya Marsha. Menurut Dimas, Marsha adalah perempuan cantik, baik, dan pintar hingga suatu saat Dimas memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.

                “Cewek bertopeng , jahaaaat !! berani-beraninya lo nyakitin sahabat gue !!!” Sheila berteriak ketika ia mengingat saat Dimas dan Marsha pertama menjadi sepasang kekasih. Ia merasa tidak terima dengan apa yang dilakukan Marsha kepada sahabatnya yang sangat mencintai Marsha.
Drrt…drrrt..drrrt
Getaran ponselnya membuat emosinya sedikit mereda, dan benar-benar reda ketika ia membaca nama Dimas menelefonnya. Segera ia angkat telefonnya.
                “Halo, ada apa, Dim ? Hah ? Dasar lo ! Iya iyaa, gue ganti baju dulu, bye” sambil menutup pembicaraan, Sheila tersenyum geli karena tingkah laku Dimas yang konyol. Tanpa berpikir panjang lagi Sheila ganti baju dan cepat-cepat menuju halaman rumahnya. Didapatinya Dimas sedang berdiri menunggunya.
                “Orang gila ! ketuk pintu atau pencet bel aja bisa, pake acara nelfon segala” kata Sheila sambil menggetok kepala Dimas.
                “Kalo lo udah tidur gimana ? nggak kedengeran kan ? dasar bodoh !” cibir Dimas sambil mngacak-acak rambut Sheila, sementara Sheila hanya menggembungkan pipi chubby nya.
“Kita mau kemana sih, Dim ?”
“Ke suatu tempat yang paling gue suka”

Sesampainya di tempat tujuan Dimas…
Sheila tertegun melihat pemandangan di hadapannya. Sebuah bukit kecil berwarna hijau muda tetapi tersamarkan gelapnya malam dan berdiri satu pohon yang sangat rindang di salah satu sudut bukit itu, dia dapat melihat dengan jelas milyaran bintang yang terhampar  di langit luas. Pintar sekali Dimas memilih tempat ini sebagai tempat favoritnya, pikirnya. Namun ada satu hal yang membuat Sheila tekejut, begitu juga Dimas. Seorang perempuan dengan rambut panjang duduk di bawah pohon sedang memandangi bintang, mereka berdua merasa tak asing dengan perempuan itu, mungkin pikiran mereka sama. Belum sempat mereka mencoba menghampiri, perempuan itu menoleh ke arah mereka. Pikiran mereka ternyata benar.
                “Marsha ?” panggil Dimas setengah berteriak lalu menghampiri mantan kekasihnya. Dia ingin sekali memeluknya namun segera ia urungkan niatnya. “Kamu masih inget tempat ini ya ? Syukurlah hehe”
                “Hah ? gue cuma mampir bentar kali ! nggak usah kepedean deh !” timpalnya dengan nada ketus untuk menutupi kegugupannya.
                “Galak amat sih sekarang ? oiya kenapa mata kamu sembap ? ”
                “Ngapain sih nanya-nanya ? udah gue mau pergi !” bentak Marsha sambil berjalan pergi meninggalkan Dimas dan Sheila sambil menatap Sheila dengan sinis.
Dimas berusaha mengejarnya namun dicegah oleh Sheila “Udahlah ! ngapain sih lo masih peduli sama dia ?” bentak Sheila, masih memegang pergelangan tangan Dimas dengan sangat erat.
                “Yee siapa juga yang mau ngejar dia ? gue mau ngambil bunga itu tuh” kata Dimas sambil menunjuk ke arah tanaman bunga di bawah sinar lampu yang tidak terlalu terang. Mawar putih. Bunga kesukaan Sheila.
“Garing amat sih lo !” timpal Sheila sambil menjitak pelan kepala Dimas lalu melepaskan genggaman tangannya. Pipinya memerah. Ia tak tahu mengapa sangat bahagia ketika Dimas sedang berjalan menuju tanaman-tanaman mawar putih itu dan memetiknya beberapa. Ia merasa bahwa mawar itu untuknya dan Dimas adalah pangeran berkuda putih yang selalu ada di mimpinya. Jika ia punya sayap, mungkin sudah terbang.
“Shei, lo suka mawar putih kan ?” tanya Dimas sambil berjalan ke arah Sheila dan membawa dua tangkai mawar putih. Sheila mengangguk. “Nih buat lo” Dimas memberikan setangkai mawar putih.
“Makasih ya, Dim” kata Sheila, kemudian memeluk Dimas dengan reflek. Dimas pun membalas pelukannya. Jantung Sheila berdegup dengan ritme cepat tetapi ia merasa sangat nyaman berada di pelukan sahabanya ini hingga tak sadar dia meneteskan air mata.
Dimas yang merasa bahwa pundaknya basah langsung melepas pelukannya  “Lo nangis, Shei ?” kata Dimas dengan nada halus sambil memegangi pundak Sheila.
                “Ah, enggak kok..Cuma….. ini tadi kelilipan hehe” jawab Sheila gugup.
                “Ngaku aja deh..lo kenapa ?”
                “Iya gue nangis. Gue terharu karena gue inget abang gue. Pelukan lo sama nyamannya waktu gue meluk abang gue”
                “Yaudah, nggak usah nangis lagi” kata Dimas sambil memeluk tubuh Sheila sebentar lalu mencium  kening Sheila. Ia merasa kasihan dengan sahabatnya itu karena Sheila hanya tinggal bersama ibunya, sedangkan ayah dan kakaknya sudah pergi meninggalkan mereka karena kecelakaan pesawat dalam perjalanan Australia-Indonesia untuk menghadiri ulang tahun ke tujuh belas Sheila. Dan Sheila merasa kematian kedua orang yang sangat disayanginya itu karena kesalahannya.

Sedangkan di sela-sela dua pohon di belakang Sheila dan Dimas ada seorang perempuan berambut panjang kembali melihat Sheila dan Dimas. Kali ini tidak hanya berkaca-kaca tetapi benar-benar sudah menangis. Ia memegangi dadanya sambil meringis kesakitan. Hingga tak bisa lagi melihat Sheila dan Dimas. Ia jatuh pingsan yang kemudia membuat Sheila dan Dimas sadar bahwa ada orang di sana. Mereka pun menghampiri asal suara tersebut. Dimas terkejut ketika mendapati seorang perempuan yang tak tersadarkan diri tergeletak lemas. Sheila lebih terkejut ketika dia menyadari bahwa perempuan itu adalah Marsha. Tanpa berpikir panjang lagi mereka segera mengangkat Marsha ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.
***
Setibanya di rumah sakit, Dimas menanyai orang tua Marsha yang baru datang karena dihubunginya tadi sambil menunggu dokter yang sedang memeriksa Marsha di ruang ICU, dengan penuh perasaan khawatir. Sedangkan Sheila hanya mendengarkan tanpa berani angkat bicara karena dia pun sama seperti Dimas dan orang tua Marsha.
                “Apakah Marsha sedang sakit, Tante ?” tanya Dimas kepada ibu Marsha dengan muka penuh selidik.
                “Iya, nak Dimas. Dia menderita lemah jantung.” Jawab ibu Marsha sambil sedikit terisak.
                “Kenapa dia nggak bilang ke aku tentang penyakitnya itu, Tante ?”
                “Maaf, nak. Bukannya dia nggak cerita sama nak Dimas. Dia hanya takut nak Dimas sedih karena Marsha sangat mencintai nak Dimas”
                “Mencintai aku, Tante ? lalu, kenapa…..”
                “Iya, nak. Dia sengaja memutuskan nak Dimas dan berpura-pura menjadi perempuan yang tidak baik di depan nak Dimas. Dia ingin nak Dimas membencinya karena jika nak Dimas terlalu menyayanginya dan nak Dimas tau tentang penyakitnya, dia takut nak Dimas sedih dan tidak bisa menerima dia lagi”
Setelah mendengar cerita dari ibu Marsha, Dimas menundukkan kepalanya sambil memeganginya, dia sangat terpukul.
 Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruang ICU “Keluarga Saudari Marsha ?”
                “Kami, dok” jawab Dimas sambil berharap Marsha baik-baik saja.
                “Saat ini, Saudari Marsha sudah melewati masa kritisnya namun masih lemah. Buat dia senang, karena itu yang bisa membuat Saudari Marsha dapat berjuang hidup. Permisi” kata dokter itu sambil berlalu dan membuat semua orang yang menyayangi Marsha tersenyum lega. Mereka pun memasuki ruang ICU tersebut.
                “Hei, bawel ! nakal banget sih kamu bohongin aku ?” sapa Dimas kepada Marsha sambil mencoba menutupi kesedihannya agar tidak diketahui oleh Marsha. Ia kasihan melihat kondisi Marsha yang sedang terbaring dengan muka pucat namun masih menunjukkan kecantikan yang membuat Dimas menyukainya.
                “Kamu udah tau semuanya, Dim ? pasti ibu deh” jawab Marsha sambil melirik ke arah ibunya dengan muka kesal yang dibuat-buat, ibunya hanya tersenyum.
                “Aku kangen kamu bawel. Aku percaya sama sandiwara jelekmu itu tau, aku sedih kamu kayak gitu. Ternyata aku tertipu” kata Dimas sambil mencubit pipi Marsha gemas.
                “Sakit !” kata Marsha sambil mengelus-elus pipinya dan lagi-lagi memasang muka kesal yang dibuat-buat “Hahaha dasar bodoh kamu ! Dimas, aku boleh minta sesuatu nggak ?”
                “Tentu boleh dong, nona bawel. Kamu mau minta apa ? hm ?”
                “Aku mau kamu mengambil sesuatu yang aku kubur di bawah pohon dekat bukit indah itu. Itu untukmu dan untuk Sheila” kata Marsha yang sedang mencoba tidak menunjukkan rasa sakit di dadanya. Dia masih bisa tersenyum manis saat raganya sudah tak kuat lagi. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia tak selemah yang orang-orang tercintanya kira. Ia hanya tak ingin membuat mereka meneteskan air mata sedih untuknya.
                “Baiklah, nona. Kita akan gali bersama besok. Kamu harus sembuh malam ini juga”
                “Hahaha tidak bisa, bodoh. Aku ingin istirahat, aku sudah sangat lelah. Dan kamu juga harus berjanji padaku”
                “Malam ini kau istirahat dan besok kita ke bukit itu bersama-sama ya ? Janji apa, nona bawel ?” Dimas masih mencoba memasang muka ceria walaupun air matanya sudah sampai di sudut matanya, ia cepat-cepat menghapusnya sebelum Marsha tahu.
                “Aku ingin istirahat terus, bodoh. Maafkan aku” kata Marsha yang masih menahan sakit di dadanya yang semakin bertambah itu “Aku rasa Sheila akan menjadi perempuan yang baik untuk masa depanmu. Aku ingin kau berjanji, jika aku sedang beristirahat lama nanti, kau menjalin hubungan dengan Sheila dan menikah” Akhirnya Marsha meneteskan air mata pertamanya sejak pertemuannya dengan Dimas malam ini. Ia hanya ingin Dimas bahagia ketika dia sudah tak dapat lagi berada di sampingnya.
                “Kenapa kau berkata seperti itu, bawel ? Bercandamu berlebihan sekali. Aku akan menikah denganmu kelak, kau pasti sembuh !” Dimas pun meneteskan air matanya diikuti Sheila dan keluarga Marsha.
                “Aku sungguh-sungguh, bodoh. Aku cinta kamu, bodoh. Sheila, tolong jaga si bodoh ini ya ? Kalau dia nakal cubit aja nggak papa kok” Kalimat itu membuat dada Marsha bertambah sakit hingga dia tidak tahan lagi dan terpaksa memeganginya sambil meringis kesakitan dan menghembuskan nafas terakhirnya. Hal itu membuat seluruh orang yang mencintai Marsha terutama Dimas menangis kehilangan.
Tak lama, dokter dan beberapa suster memasuki ruang ICU itu untuk memastikan keadaan Marsha. Namun, tak ada lagi yang harus diperbuat. Alat pemacu jantung pun sudah tidak berguna lagi. Salah satu suster menutup seluruh badan Marsha dengan kain putih dan membuat tangis Dimas semakin menjadi.
***
Setelah prosesi pemakaman, Dimas dan Sheila menuju ke bukit. Dia ingin menuruti perintah Marsha untuk mengambil sesuatu yang Marsha kubur di bawah pohon itu. Sesampainya di sana, Dimas merasa sesuatu sedang menghujam hatinya. Beberapa kenangan indah tersimpan di bukit tersebut, bahkan hari terakhir dengan Marsha pun terjadi di bukit itu. Sesekali  ia menghapus air matanya. Sangat perih kehilangan perempuan yang paling dia cintai.
Sheila  yang menyadari bahwa Dimas sedang menangis langsung mencoba menenangkannya “Udah ya, Dim. Gue tau lo pasti sakit banget kehilangan Marsha, tapi Marsha udah tenang di surga dan pasti dia nggak suka liat lo sedih. Lo kan janji mau bahagiain dia sampai kapan pun” kata Sheila sambil menepuk-nepuk pundak Dimas supaya dia tenang, Sheila pun meneteskan air mata karena tak tega melihat sahabatnya sesedih ini.
                “Iya, Shei. Gue payah hahaha” Dimas tertawa dalam tangisnya, mencoba melegakan hati Sheila yang daritadi terus berusaha menenangkannya “Yaudah, kita gali yuk” ajak Dimas sambil berjalan menuju pohon yang dimaksud Marsha. Ia membawa sekop untuk memudahkannya menggali tanah untuk mengambil barang yang dikubur Marsha.
Beberapa menit kemudian, Dimas mulai menemukan barang itu, sebuah kotak yang cukup besar. Setelah di buka, ternyata kotak itu berisi selembar kertas, beberapa barang Marsha pemberian Dimas, dan foto-foto Marsha bersama Dimas, ada foto Sheila juga di situ.
Dimas merasa hatinya semakin perih, namun sudah tidak bisa menangis lagi. Segera dibacanya kertas dalam kotak itu.

*Bersamamu, aku adalah berlian
Yang indah nan berkilau
Yang kan selalu kau jaga dan tak akan kau biarkan ku terhempas
 Aku yakin
Bersamamu, aku adalah peri kecil
Makhluk tak sempurna
Yang kau jadikan hampir sempurna dan indah dimatamu
Aku yakin
            Karena bersamamu
Aku merasa berharga
Aku merasa sempurna
Aku merasa berguna
Dan dicintai
Aku yakin, sangat yakin  
*Tapi Tuhan..
Mengapa kau tak ijinkan aku lebih lama bersamanya ?
Aku ingin hidup lebih lama bersamanya Tuhan
Tapi aku hanya makhluk lemah yang tak bisa hidup lebih lama lagi
Tuhan,
Aku mohon jaga dia ketika aku tak mampu lagi menjaganya
Tuhan,
Maafkan aku telah berpura-pura dengannya


NB:
Dimaaaass, maafin aku ya nggak bisa nemenin kamu di pelaminan kelak. Aku udah capek banget pengen istirahat hehehe Maaf udah bohongin kamu, sebenernya aku juga nggak mau kayak gitu. Aku cuma nggak mau kamu sedih. Oiya, itu barang-barang dari kamu, maaf ya aku kembaliin hehehe takut nggak ada yang ngerawat. Semangat ya, bodoh.
Buat Sheila, aku titip bodohku yaa. Tolong gantiin aku di pelaminannya. Kalian cocok kok.
Sampai ketemu di surga. Aku sayang kalian.
Hey bodoh, bacanya biasa aja ! nggak usah pake nangis. Malu tuh sama Sheila.
Bye..

Tanpa sadar, Dimas meneteskan air matanya karena membaca surat itu. Dia sudah tak peduli akan harga dirinya sebagai lelaki, karena lelaki manapun pasti akan melakukan hal yang sama ketika orang yang mereka cintai pergi.
                “Woy, cengeng amat sih lo, Dim ?” Sheila mencoba menghibur Dimas sambil menjitak kepalanya.
                “Hahaha kayak lo nggak cengeng aja, Shei !” timpal Dimas yang sedikit terhibur “Lihat tuh hidungmu udah kayak tomat”
Sheila hanya menggembungkan pipinya pertanda kesal sambil mengusap air matanya dan tersenyum kepada Dimas.
                “Pulang yuk, Shei” ajak Dimas sambil mengacak-acak rambut Sheila dan merangkulnya. Mereka pulang dan membawa kotak itu.
***
5 tahun kemudian…

Dimas melihat pemandangan di bukit indah itu sambil sesekali menghirup udara segar yang bercampur aroma mawar putih yang sedang bermekaran. Masih teringat dengan sangat jelas semua kenangannya bersama Marsha. Ia masih belum bisa melupakannya, bahkan mungkin tidak akan pernah bisa.
                “Haloo papaaa” panggil seorang perempuan manis dan anggun kepada Dimas sambil melambaikan tangan seorang bayi yang di gendongnya.
                “Hey, Acha keciil anak papaa yang cantik” jawab Dimas lalu berganti menggendong seorang bayi tadi yang ternyata bernama Acha, bayi dari Dimas dan Sheila. Mereka menepati janji Marsha, mereka menikah tanpa paksaan karena akhirnya mereka memang saling mencintai dan mereka sepakat memberi nama  bayinya, Marsha Dila Wiratama. Marsha= untuk mengenang almarhumah yang telah menyatukan mereka, Dila= gabungan dari Dimas dan Sheila, dan Wiratama= nama belakang Dimas yang juga nama ayahnya atau kakek Acha. Mereka bersyukur mempunyai buah hati yang sangat lucu dan cantik, dan mereka sangat bersyukur karena Marsha lah yang membuat keluarga yang sangat indah itu.





-TAMAT-



Senin, 19 Maret 2012

A Memory

Ngomongin soal cinta itu gak ada habisnya..tentang yang baru ditembak, putus, pdkt, dsb..curhat dikiit yaa,.aku punya cowok (MEalsP)yang gak romantis tapiii jadi sering bikin puisi buat aku sejak aku minta dia bikin puisi buat tugas sekolah..puisinya aku rangkum di bawah karena bentar lagi kami terpaksa gak sama-sama lagi karena suatu hal *ngusap air mata*..buat kenang-kenangan lah L langsung baca aja yaa,.keburu banjir air mata nih..CEKIDOOTT

©    Part 1 (Sabtu, 11/02/2012 2:34 pm)

Disaat air mataku terjatuh karena goresan cinta
Disitu kau ada tuk keringkan luka
Dan di waktu itu pula kutemukan
Sebuah ketulusan cinta darimu
Sungguh kurasakan sebuah arti dari ketulusan cinta
Ketika kau ada di sampingku
Kau ajarkanku tentang ketulusan
Serta makna dari sebuah cinta
Betapa berharganya ketulusan cinta
Namun, tak kan pernah sempurna
Jika ketulusan itu tanpa adanya seseorang seperti dirimu
Ku serahkan semua hatiku hanya untukmu
Wahai cinta sejatiku

©    Part 2 (Senin, 13/02/2012 1:31 pm)

Mengharapkan awanku terbangkan dirimu
Tuk terbangkan sayap-sayap cinta kita
Tunjukkan pada dunia bahwa kita tak kan terpisah
Dan hapuskan semua luka tentang dunia dan berlalu
Ku genggam tanganmu dan kurasakan rinduku
Sampai mungkin nanti waktu tak mampu memisahkan kita
Biarkan dunia milik kita
Dan biarkan dunia tersenyum untuk kita

©    Part 3 (Kamis, 16/02/2012 11:10 am)

Kini ku terjatuh lagi
Terbelenggu ruang hati yang tak teryakinkan
Hati ini tersakiti lagi
Dan tak mungkin ku tahan perih ini
Pegang langkahku ini dan rasakan perihku
Peluk hati ini dan tenang ku rasakan
Terbangkanku sejenak tuk mencari arti dari ini
Biarkan ku sandarkan hati ini sejenak
Terbangun dan bawaku pergi dari ini
Karena hanya bersamamu tenang ku rasakan
Dan kita kan terbang jauh ke awan
Merangkai indahnya cinta kita berdua

©    Part 4 (Rabu, 22/02/2012 2:57 pm)

Ikuti jejak langkahku
Terbang ke atas bermain awan memutar cerita
Melukis kisah indah tentang kita
Dan rasakan betapa indahnya cinta kita berdua
Kau bisikkan semua rasa yang tak terungkap
Namun kau tetap menari indah di awan
Tuk lepaskan beban yang melelahkan
Kudisini selalu bersama rasamu

©    Part 5 (Kamis, 01/03/2012 2:52 pm)

Kau ceritakan semua kisah
Melukiskan semua tentangku
Kau uraikan kata indah bermakna penuh cinta
Kau tuluskan semua hanya untukku
Kau tinggikanku dari segala rendahku
Kau hebatkan aku dalam lemahnya diriku
Kau sempurnakanku di atas semua kekuranganku
Seakan aku kau jadikan raja di hatimu
Tak akan pernah terganti dari hati
Hingga waktu yakinkan tuk pergi
Selamanya kau kusimpan dalam hati
Kan ku jadikan ratu di semua mimpi

©    Part 6 (Senin, 05/03/2012 11:56 pm)

Terdiam terpaku ku di sudut waktu
Mencoba memahami arti dari ini
Tuk bertahan bersama rasamu
Menghilang dari kisah ini
Hanya khayalku yang tak menentu
Mencari makna di setiap ceritaku
Entah sampai kapan waktu kan menuntunku
Jika arahku mulai berlalu
Tuhan, tepiskan resah di benakku
Berilah waktu untukku dan dia
Ku ingin melukiskan cerita kita
Cerita yang tak akan pernah hilang
Bersamanya ku tenang
Bersamanya kan ku kenang
Bersamanya cintaku tak pernah hilang
Tuhan, dia wanita yang ku sayang

©    Part 7 (Rabu, 14/03/2012 10:09 pm)

Kamu…
Sempurna di hatiku
Terindah di benakku
Terjaga di pelukku
Kamu…
Membawa senyum di atas lukaku
Membawa bahagia di atas perihku
Selalu dan selalu ada di saat apapun aku
Kamu…
Begitu indah tuk ku sakiti
Terlalu sulit tuk ku jauhi
Terlalu sempurna tuk ku lukai
Kamu…
Ku beri semua hati untukmu



*Tanpa pengubahan